Menyusun Kembali Pendidikan
Program Merdeka Belajar sejatinya menunjukkan keinginan kuat Mendikbudristek memajukan pendidikan nasional. Namun, sejumlah gagasan pembaruan memunculkan polemik, seperti RUU Sisdiknas 2022. Kurang melibatkan publik.
Meski sering menimbulkan kontroversi—karena kurang mendapat masukan dari publik sehingga berakhir dengan ketidakjelasan—berbagai ide dan kebijakan Mendikbudristek Nadiem Makarim sejatinya menunjukkan adanya keinginan kuat memperbarui dan memajukan pendidikan nasional.
Pembaruan itu, pertama dan terutama, dilakukan melalui program Merdeka Belajar (MB) yang kini telah memasuki episode ke-24. Tujuannya adalah membebaskan beragam kejumudan dan kemudian menjadikan ”rasa” merdeka itu sebagai conditio sine qua non pemajuan pendidikan. Oleh sebab itu, Mendikbudristek bergegas melakukan semacam debirokratisasi dan deregulasi serta menghindari membuat banyak petunjuk kerja.
Petunjuk seperti itu, menurut Nadiem, di lapangan sering dijadikan aturan kaku yang menghambat kreativitas dan menimbulkan ketakutan/kemalasan guru untuk melakukan improvisasi. Ia bahkan membolehkan para guru mengembangkan format rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sendiri yang lebih simpel.
Dalam MB episode 22 (Transformasi Seleksi Masuk PTN), Mendikbudristek menghapuskan tes mata pelajaran/tes kemampuan akademik dalam sistem seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) 2023 dan menggantinya dengan tes tunggal: tes potensi skolastik (TPS). Ujian SBMPTN selama ini, kata Nadiem, menyebabkan proses pembelajaran terfokus pada mata pelajaran (mapel) tertentu, yaitu yang diujikan saja. Sementara mapel lain sepertinya tak dianggap penting.
Perubahan SBMPTN juga dimaksudkan memberi peluang yang sama bagi siswa yang selama ini sulit bersaing karena mereka tak mampu membiayai bimbingan belajar (bimbel).
Pembelajaran jadi sekadar pelatihan (drills) soal-soal dan teknik menyiasatinya. Alhasil, kualitas pembelajaran menurun. Perubahan SBMPTN juga dimaksudkan memberi peluang yang sama bagi siswa yang selama ini sulit bersaing karena mereka tak mampu membiayai bimbingan belajar (bimbel).
Kedua, untuk memberikan kerangka filosofis dan operasional bagi Merdeka Belajar dan pembangunan pendidikan, pada Mei 2020, Kemendikbudristek meluncurkan Peta Jalan Pendidikan (PJPI) 2020-2035.
Rumusan visi dan strategi PJPI didominasi asumsi-asumsi tentang tren global. Penyusunan PJPI tampaknya lebih banyak melihat keluar (outward looking) ketimbang melihat luas ke dalam (inward looking) sehingga berbagai kebijakan melahirkan kontroversi.
Di antara kontroversi yang viral terkait draf PJPI adalah tidak eksplisitnya kata agama dalam visinya. ”… itu kealpaan atau memang sengaja?...” tanya Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah (Muhammadiyah.or.id, Selasa, 9 Maret 2021).
Nadiem lewat Instagram-nya (Tempo, 10/3/2021) memastikan kata agama akan eksplisit. Namun, hingga sejauh ini visi PJPI tetap tak berubah. Kemendikbudristek berpandangan bahwa agama adalah esensi yang mendasari/menjiwai sikap dan perilaku. ”Agama” mewujud dalam frasa takwa dan akhlak mulia pada diri pelajar pancasilais.
Revisi UU Sisdiknas
Ketiga, pembentukan (revisi) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Berbagai upaya pembaruan yang dijalankan mengharuskan adanya UU baru yang lebih relevan dan menyatukan operasionalisasi pendidikan dalam ”satu” sistem. Pembentukan UU baru yang digagas Kemendikbudristek ini, menurut Kepala Badan Standar, Asesmen, dan Kurikulum Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo (Kompas, 7/3/2022), akan mengintegrasikan dan mencabut tiga UU terkait pendidikan. Ketiga UU itu adalah UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Ide penggabungan itu memunculkan polemik.
RUU Sisdiknas 2022 dianggap bersifat omnibus law yang pasal-pasalnya tak menjawab berbagai masalah pendidikan. RUU itu juga menghapus pasal-pasal penting dalam tiga UU lama, antara lain, tentang tunjangan profesi guru.
Tunjangan profesi (sering disebut tunjangan sertifikasi) guru (TPG) dalam UU No 14/2005 ditetapkan sebesar satu kali gaji pokok. Tunjangan itu bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kesejahteraan guru. Sejalan dengan itu, mulai 2009, pemerintah memenuhi tuntutan konstitusi, mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD. Dengan demikian, anggaran belanja pendidikan jadi yang terbesar.
Setelah belasan tahun berjalan, belanja pendidikan yang sangat besar itu ternyata tak berpengaruh pada peningkatan kinerja dan mutu pendidikan.
Berbagai hasil penelitian, antara lain oleh Bank Dunia, menunjukkan bahwa program sertifikasi yang menghabiskan triliunan rupiah hanya menaikkan tingkat pendapatan guru dan membuat profesi guru secara signifikan lebih menarik.
Kenyataan ini sering dikeluhkan para pejabat pemerintah, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. ”Kita sudah sepuluh tahun menganggarkan 20 persen untuk pendidikan, tapi output-nya tidak bagus, tidak sememuaskan sebagaimana kita harapkan,” kata Sri Mulyani.
Sejak itu, muncullah ide pemerintah untuk melakukan semacam ”rasionalisasi” (bukan menghapuskan) TPG, di antaranya TPG diberikan dengan berbasis kinerja. Untuk itu, harus mengubah UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Madrasah dan keagamaan
Kontroversi lain terkait draf revisi adalah digantikannya kosakata madrasah dengan keagamaan. Tak urung raibnya madrasah dikaitkan dengan ketiadaan secara eksplisit kata agama dalam PJPI dan kembali menimbulkan dugaan Kemendikbudristek sekarang ini alergi terhadap hal-hal agamawi.
Pembahasan RUU Sisdiknas dinilai berbagai pihak tergesa-gesa, terkesan tertutup, dan kurang melibatkan partisipasi publik sehingga menimbulkan banyak pro dan kontra. Akhirnya, ketika diajukan, enam fraksi di Badan Legislasi DPR menolak memasukkan revisi UU Sisdiknas No 20/2003 ke program legislasi nasional prioritas 2023. Seketika, keriuhan tentang RUU ini kemudian lindap.
Mohammad Abduhzen, AdvisorParamadina Institute for Education Reform (PIER) Universitas Paramadina, Jakarta
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/05/01/menyusun-kembali