PIER Universitas Paramadina

Masihkah Guru Pahlawan tanpa Tanda Jasa?

Ilustrasi, Al Basir – Masihkah Guru Pahlawan tanpa Tanda Jasa?


Dengan adanya kebijakan sertifikasi guru ini membuat kehidupan guru lebih sejahtera dibandingkan sebelumnya. Guru yang dahulu hidup sederhana dengan keterbatasan ekonomi kini berubah menjadi guru yang hidup lebih memadai.

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa

Frasa ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ yang disematkan kepada guru mulai populer sejak digaungkan himne guru pada tahun 1980. Penciptanya, Sartono, adalah seorang guru musik di sebuah SMP Swasta di Madiun. Pada saat proses penciptaan lagu tersebut, Sartono terinspirasi dari kehidupan seorang guru yang baik hati, jujur, dan penuh perjuangan. Sebagaimana dikisahkan oleh istri Sartono, guru tersebut mengalami kesusahan ekonomi. Ia mengalami musibah perampokan yang membuat harta bendanya ludes. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, ia menjadi seorang pengamen. Namun, ia tetap menjalani profesi sebagai seorang guru yang mengajar setiap hari. Dari nukilan kisah singkat perjalanan hidup seorang guru tersebut, lagu himne guru diciptakan dan menjadi salah satu lagu wajib nasional yang masih terus dinyayikan sampai sekarang.

Pada saat itu, guru menempati status sosial yang tinggi. Guru dipandang memiliki ilmu yang tinggi di atas rata-rata orang kebanyakan. Perannya dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik membuat profesi guru dipandang mulia. Keilmuan yang tinggi dan pengabdiannya dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat membuat guru menjadi figur terpandang. Namun, kerja mulia seorang guru tidak diberbanding lurus dengan kesejahteraan ekonominya. Karena anggaran pendidikan yang terbatas, gaji guru relatif kecil dibandingkan dengan profesi yang lain. Kinerja guru dengan pengorbanan yang demikian besar tidak sebanding dengan imbalan ekonomi yang diterimanya. Kerja guru seperti kerja pengabdian yang tidak menuntut balasan finansial. Dari latar belakang demikian, Sartono sangat tepat menggambarkan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Namun, kondisi guru sekarang tentu berbeda. Seiring dengan reformasi di bidang tata kelola negara, negara memandang penting peran pendidikan untuk kemajuan bangsa dengan mengalokasikan 20 persen anggaran negara untuk pendidikan. Tentu hal ini berdampak positif bagi kesejahteraan guru. Adanya kebijakan sertifikasi, guru mendapat tunjangan profesi sehingga kesejahteraan guru semakin meningkat. Pendapatan guru yang memadai ini membuat profesi guru semakin diminati.

Dengan adanya kebijakan sertifikasi guru ini membuat kehidupan guru lebih sejahtera dibandingkan sebelumnya. Guru yang dahulu hidup sederhana dengan keterbatasan ekonomi kini berubah menjadi guru yang hidup lebih memadai. Guru bisa memenuhi kebutuhan dasar bahkan kebutuhan tersiernya. Adanya imbalan finansial yang memadai, yang jauh berbeda dengan tahun 1980-an, apakah berarti guru masih menyandang gelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa?

Menyebutkan seluruh guru saat ini hidup sejahtera, tentu tidaklah tepat. Masih banyak guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi. Di daerah-daerah, terdapat banyak guru bantu dan guru honorer dengan gaji yang sangat kecil. Mereka menjalani profesi sebagai guru bertahun tahun, bahkan ada yang sampai berpuluh tahun, tetapi mendapat gaji yang sangat tidak layak. Dengan keadaan demikian, kehidupan mereka sehari-hari jauh dari sejahtera. Ini artinya, di saat sebagian kehidupan guru yang sejahtera, masih banyak guru yang kehidupannya jauh dari kelayakan.

Dengan demikian, tepat tidaknya frasa pahlawan tanpa tanda jasa yang dikenakan pada guru tidak didasarkan pada pertimbangan apakah guru sudah sejahtera atau belum. Jika guru tidak lagi tepat disebut pahlawan tanpa tanda jasa karena sekarang guru hidup lebih sejahtera, toh nyatanya masih banyak guru yang kehidupannya belum sejahtera. Jasa guru yang telah mendedikasikan dirinya dalam pendidikan tidak sepenuhnya terbalas dengan penghasilan memadai yang diterimanya.

Membalas jasa guru semata-mata dalam bentuk imbalan materi berupa penghasilan yang memadai, sesungguhnya menurunkan derajat keluhuran profesi seorang guru. Jasa guru selamanya tidak terbalas. Memberikan kesejahteraan kepada guru berupa penghasilan yang memadai lebih sebagai penunjang agar guru dapat terus berdedikasi dengan mengabdikan hidupnya dalam pendidikan. Agar mereka dapat meningkatkan dan meneruskan pengabdiannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa terganggu oleh belitan ekonomi yang mengusik ketenangan hidupnya.

Faktanya, kesejahteraan guru yang lebih baik sekarang ini justru menggeser paradigma dari guru yang tulus mengabdi menjadi guru yang mengharap balasan finansial atas profesinya. Sertifikasi guru yang dengan tunjangan profesinya, dimaksudkan agar guru lebih profesional ternyata hanya berdampak pada kehidupan guru yang lebih sejahtera namun tidak mengalami peningkatan profesionalitas. Tunjangan profesi guru tidak berdampak besar pada peningkatan kinerja guru seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian Bank Dunia tahun 2009-2011.

Adanya pergeseran paradigma ini membuat banyak orang memilih berpofesi guru bukan sebagai panggilan hidup sebagaimana dahulu, ketika guru tidak mendapat imbalan finansial yang memadai. Orang kini memilih menjadi guru lebih karena profesi guru bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Motif menjadi guru saat ini tercampur oleh dorongan-dorongan yang bersifat pragmatis. Menjadi guru pada akhirnya hanya sebagai pekerjaan yang bersifat transaksional di mana guru melakukan kerja-kerja yang dituntut oleh profesinya demi mendapatkan imbalan finansial. Alih-alih menjadi guru yang profesional, yang mengemuka adalah guru yang berkinerja rendah karena tidak dilandasi oleh ketulusan mengabdi dalam pendidikan.

Frasa pahlawan tanpa tanda jasa tidak otomatis menjadi tidak lagi relevan dengan adanya imbalan yang didapat guru berupa gaji dan tunjangan yang memadai. Pahlawan tanpa tanda jasa merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh setiap guru bahwa menjadi guru adalah pengabdian tulus kepada bangsa dan negara. Orang menjadi guru lebih karena memenuhi panggilan bangsanya, bukan karena iming-iming finansial. Jika toh saat ini negara memberikan keberlimpahan finansial kepada guru, itu lebih sebagai balasan atas ketulusannya mengabdikan diri dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sejak tahun 2007, lirik lagu himne guru berubah. “Tanpa tanda jasa” pada baris terakhir sudah tidak ada lagi, diganti dengan “pembangun insan cendekia”. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengubahnya dengan alasan frasa “tanpa tanda jasa” mengurangi pentingnya profesi guru. Dari alasan perubahan itu, tersirat pemerintah merasa telah membalas jasa guru dengan memenuhi kesejahteraan guru secara memadai sehingga guru dituntut lebih profesional. Padahal, pada frasa “tanpa tanda jasa” inilah tersirat cikal bakal profesionalitas: panggilan bangsa kepada guru agar dengan jiwa luhur mengabdikan diri demi mencerdaskan kehidupan bangsanya.

 


0 Komentar

Tulis Komentar